Persiapan Pelatihan Inklusif
Sebelum melaksanakan pelatihan yang inklusif, perlu dilakukan beberapa persiapan sebagai berikut:
1. Pembentukan Tim Pelatihan.
Sebelum dimulainya pelatihan, perlu adanya pihak yang bertanggung jawab melaksanakan pelatihan untuk mendukung sosialisasi dan promosi PCSP. Dalam konteks PCSP, Dinas PUPR Kota Palembang dan Perumda Tirta Musi (PTM) merupakan dua instansi utama yang bertanggung jawab untuk mengelola pelatihan-pelatihan terkait air limbah dan infrastruktur yang inklusif sebagai alat sosialisasi dan promosi PCSP. Masing-masing instansi tersebut menunjuk tim pelatihan sebagai pengelola pelatihan.
2. Koordinasi antar mitra pembangunan
Tim Pelatihan Dinas PUPR maupun PTM didukung oleh PERINTIS melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam PCSP untuk mengumpulkan informasi mengenai pelatihan penyadaran dan keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat. Pihak-pihak yang disebut sebagai Mitra Pembangunan tersebut meliputi:
- Pemangku Kepentingan Utama: Penyedia Jasa Layanan Air Limbah (PERUMDA-AM, UPTD), kontraktor, lurah, dan ketua RW/RT.
- Pemangku Kepentingan Sekunder: Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil (CBOs) seperti Women Crisis Centre (WCC) Palembang, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), dan Perkumpulan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI).
- Mitra lainnya: Berbagai organisasi lain yang dapat mendukung Pembangunan Air Limbah Perkotaan.
Setelah mendapatkan informasi pelatihan yang diperlukan dari mitra pembangunan, Tim Pelatihan menyusun tujuan pelatihan yang disesuaikan dengan tujuan PCSP yaitu masyarakat yang menyambung ke sistem pengelolaan air limbah perpipaan (SPALD-T) dan melaksanakan penyedotan lumpur tinja berkala (LLTT).
3. Melaksanakan penilaian kebutuhan pelatihan (Training Need Assessment)
Penilaian Kebutuhan Pelatihan dilaksanakan untuk mengetahui jenis-jenis pelatihan yang dibutuhkan oleh masyarakat sekaligus untuk mengumpulkan data awal (baseline data) mengenai harapan, permasalahan, dan profil penerima manfaat program yang dilengkapi data terpilah gender dan disabilitas.
Proses Penilaian Kebutuhan Pelatihan dilakukan melalui wawancara langsung, dengan metode penentuan sampel yang sesuai, dan menggunakan pertanyaan yang mencakup aspek demografis, status kepemilikan rumah, serta pilihan jenis pelatihan yang diminati, dan lain-lain. Dengan cara ini, diharapkan informasi yang diperoleh dapat mendukung pengembangan program pelatihan yang inklusif dan efektif.
Dari Penilaian Kebutuhan Pelatihan, informasi dianalisis untuk menyusun program pelatihan yang efektif, dengan jadwal pelatihan yang fleksibel untuk memaksimalkan partisipasi dan kehadiran masyarakat sasaran. Di sisi lain, hasil penilaian kebutuhan ini digunakan untuk mendapatkan umpan balik dari masyarakat di wilayah Proyek Sanitasi Kota Palembang (PCSP) dan untuk memahami bidang-bidang yang diminati. Hal ini berkaitan dengan pembangunan sambungan rumah untuk pengolahan air limbah, serta langkah-langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan kesediaan mereka dalam terhubung ke sistem sanitasi yang aman. Dengan pemahaman ini, program pelatihan dapat lebih tepat sasaran dan relevan bagi masyarakat.
4. Membuat rancangan pelatihan
Tim pelatihan menyusun kurikulum pelatihan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan pelatihan, serta kebutuhan peserta, khususnya kelompok rentan dan penyandang disabilitas. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan modul-modul pelatihan, pembuatan alat bantu kerja yang aksesibel seperti video, presentasi, alat peraga (demo unit), dll.

5. Memilih pelatih dan fasilitator yang relevan di bidang sanitasi/ infrastruktur
Langkah selanjutnya adalah melakukan pemetaan terhadap institusi atau individu yang memiliki pengetahuan dan keahlian terkait dengan program pelatihan yang telah dirancang. Kerjasama dapat dilakukan dengan tenaga ahli dari dinas terkait, universitas, dan lembaga lain untuk menyampaikan topik-topik pelatihan yang relevan, seperti sanitasi, pembangunan sambungan rumah yang aman, pengelolaan tangki septik, manfaat kesehatan dari sistem pengolahan air limbah, dan pengelolaan sampah. Selain itu, penting untuk merekrut fasilitator lokal termasuk pendamping penyandang disabilitas yang dapat membantu dalam proses pelatihan dan agar proses pelatihan dapat diterjemahkan ke dalam konteks lokal dan aksesibel bagi penyandang disabilitas. Fasilitator lokal ini dapat mendampingi pelatih, memandu diskusi dan sesi tanya jawab, serta memfasilitasi kerja kelompok. Mereka juga akan mendorong keterlibatan aktif peserta dan memandu kegiatan atau kunjungan lapangan.

6. Rekrutmen Penyedia Jasa Keterampilan
Penyedia jasa keterampilan seperti lembaga pelatihan dan sertifikasi juga dapat direkrut untuk mengisi pelatihan yang tidak dapat dilakukan oleh Dinas terkait seperti pelatihan pertukangan, kesehatan, dan keselamatan kerja (K3), serta pertolongan pertama dan penanganan kebakaran. Hal ini cukup penting dalam konteks wilayah PCSP mengingat di lokasi ini terdapat rumah-rumah padat penduduk, juga bangunan niaga atau perkantoran yang memiliki resiko kebakaran. Sedangkan pemahaman dan praktik keselamatan kerja diperlukan dalam setiap pembangunan infrastruktur untuk melindungi pekerja kontraktor dan masyarakat yang berada di wilayah pembangunan infrastruktur. Lembaga-lembaga ini diharapkan dapat membantu melengkapi pelatihan yang diperlukan oleh kontraktor maupun masyarakat, serta menyediakan sertifikasi yang diperlukan.
Pelatihan kompetensi bersertifikat bertujuan untuk meningkatkan akses peserta kepada pekerjaan yang berkaitan dengan sanitasi dan infrastruktur, termasuk keterampilan dalam perpipaan air limbah, pemasangan batu dan bata, perbaikan dan pemasangan ubin, kesehatan dan keselamatan kerja, serta kesiapsiagaan kebakaran.
Di samping itu, dalam upaya penguatan kepemimpinan lokal dan fasilitasi perwakilan perempuan dalam dialog publik, penting untuk memfasilitasi pelatihan Kepemimpinan Perempuan yang inklusif dalam bidang air dan sanitasi, serta pelatihan Komunikasi dan Advokasi yang inklusif bagi kelompok perempuan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat membangun kapasitas dan pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh.
7. Pelibatan staff kelurahan sebagai koordinator kelurahan di lapangan
Koordinasi dilakukan dengan pihak kelurahan untuk memperkenalkan PCSP dan program terkait. Dalam proses koordinasi ini, pihak kelurahan diminta untuk memberikan dukungan dengan merekomendasikan staf yang akan menjadi koordinator kelurahan. Peran dan tanggung jawab koordinator kelurahan meliputi promosi program PCSP, melakukan seleksi warga yang akan mengikuti pelatihan, serta memastikan adanya perwakilan dari masing-masing RT/RW yang dapat berpartisipasi dalam program pelatihan. Selain itu, koordinator juga diharapkan mendorong keterlibatan kelompok rentan lainnya, termasuk penyandang disabilitas, dan secara aktif berkoordinasi dengan tim implementasi program.
8. Bekerja sama dengan Ketua RT/RW
Koordinasi ini dilakukan untuk mengenalkan PCSP dan program terkait kepada Ketua RT/RW. Tujuan dari koordinasi ini adalah untuk menjelaskan maksud dan tujuan program, serta sasaran dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Dalam proses ini, penting untuk meminta arahan dan masukan mengenai warga yang perlu dilibatkan dalam pelatihan, terutama perempuan, pemuda/i yang belum bekerja, dan penyandang disabilitas. Selain itu, koordinasi ini bertujuan untuk mengetahui profil warga dan kondisi secara umum di RT/RW setempat.
Kerja sama dan koordinasi ini diharapkan dapat mempertahankan inisiatif dan jejaring di masyarakat, serta mendapatkan dukungan dari RT/RW sebagai tokoh yang dipercaya oleh masyarakat. Selain itu, kerjasama dengan Ketua RT/RW ini akan memperkuat hubungan dengan seluruh kelurahan sasaran dan kantor Lurah, sehingga program dapat berjalan lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
! Perlu diingat, bahwa beberapa fasilitas dan dukungan ini memerlukan pembiayaan,
sehingga perlu dipastikan perhitungan biaya dalam desain
penganggaran program pelatihan !